Museum Wayang
Letak bangunan gedung Museum Wayang di Jl. Pintu Besar Utara No. 27. pada mulanya merupakan lokasi gereja tua yang didirikan VOC pada tahun 1640 dengan nama “ de oude Hollandsche Kerk “ sampai tahun 1732 yang berfungsi sebagai tempat untuk peribadatan penduduk sipil dan tentara bangsa Belanda yang tinggal di Batavia
Pada tahun 1733 gereja tersebut mengalami perbaikan, dan namanya dirubah menjadi “ de nieuwe Hollandsche Kerk “ dan berdiri terus sampai tahun 1808. Di halaman gereja ini yang sekarang menjadi ruangan taman terbuka Museum Wayang, di dalamnya terdapat taman kecil dengan prasasti-prasastinya yang berjumlah 9 ( sembilan ) buah yang menampilkan nama-nama pejabat Belanda yang pernah dimakamkan di halaman gereja tersebut.
Diantara prasasti tersebut tertulis nama Jan Pieterszoon Coen, seorang Gubernur Jenderal yang berhasil menguasai kota Jayakarta pada tanggal 30 Mei 1619 setelah kekuasaan P. Jayakarta lumpuh akibat pertentangan dengan Kraton Banten, Dalam tahun 1621 Heeren XVII memerintahkan Coen untuk memakai nama Batavia untuk kota Pelabuhan Jayakarta. Kota Batavia yang dibangun oleh Coen diatas puing reruntuhan Jayakarta dengan membuat suatu kota tiruan sesuai dengan kota-kota di negeri Belanda.
Museum fatahillah
Museum Fatahillah yang juga
dikenal sebagai Museum Sejarah
Jakarta atau Museum Batavia adalah sebuah museum yang terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta
Barat dengan
luas lebih dari 1.300 meter persegi.
Gedung ini dulu adalah sebuah Balai Kota (bahasa
Belanda: Stadhuis)
yang dibangun pada tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan
van Hoorn. Bangunan itu menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri
atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan
sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah
tanah yang dipakai sebagai penjara.
Gedung Stadhuis di awal abad ke-20, dihubungkan
dengan jalur trem ke pusat pemerintahan di kawasan Weltevreden.
Arsitektur
bangunannya bergaya abad ke-17 bergaya neoklasik[rujukan?] dengan tiga lantai dengan cat kuning tanah, kusen pintu dan
jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk
arah mata angin.
Museum
ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan
konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.
Plang Peringatan Pembangunan Museum Fatahillah
yang dahulunya adalah Balai Kota
Objek-objek
yang dapat ditemui di museum ini antara lain perjalanan sejarah Jakarta, replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik mulai dari abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan
dari gaya Eropa, Republik Rakyat Cina, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai
ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta,
Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang MH Thamrin.
Terdapat
juga berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik,
dan becak. Bahkan kini juga diletakkan patung Dewa Hermes (menurut mitologi Yunani, merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan
bagi kaum pedagang) yang tadinya terletak di perempatan Harmoni danmeriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Selain
itu, di Museum Fatahillah juga terdapat bekas penjara bawah tanah yang dulu sempat digunakan pada
zaman penjajahan Belanda.
Sejarah[sunting sumber]
Pada tahun 1937, Yayasan
Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah
Batavia, yayasan tersebut kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co
yang terletak di sebelah timur Kali Besar tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No.
27 (kini museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia.
Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939.
Pada masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga
Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 ‘’Museum Djakarta Lama'’
diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali
Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta
pada tanggal 30 Maret 1974.
Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Sejarah
Jakarta sejak tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekedar tempat untuk merawat,
memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi juga harus bisa menjadi
tempat bagi semua orang baik bangsa Indonesia maupun asing, anak-anak, orang
dewasa bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman
serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Untuk itu Museum Sejarah Jakarta
berusaha menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang sejarah kota
Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang lebih
rekreatif. Selain itu, melalui tata pamernya Museum Sejarah Jakarta berusaha
menggambarkan “Jakarta Sebagai Pusat Pertemuan Budaya” dari berbagai kelompok
suku baik dari dalam maupun dari luar Indonesia dan sejarah kota Jakarta
seutuhnya. Museum Sejarah Jakarta juga selalu berusaha menyelenggarakan
kegiatan yang rekreatif sehingga dapat merangasang pengunjung untuk tertarik kepada
Jakarta dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya warisan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar